Pemilihan Formula Nutrisi Enteral Pada Pasien Sakit Kritis

NUTRISI ENTERAL

Formula Nutrisi Enteral

Kapan Memulai Pemberian Nutrisi Enteral

Terapi dukungan nutrisi dalam bentuk nutrisi enteral dini dimulai dalam 24-48 jam pertama pada pasien sakit kritis yang tidak dapat menjaga asupan mandiri.

  1. Nutrisi Enteral mendukung fungsi gastrointestinal dengan cara memelihara intraepitelial sel, stimulasi aliran darah, merangsang pelepasan agen endogen seperti cholesistokinin, gastrin, bombesin dan garam empedu.
  2. Nutrisi Enteral memelihara struktur villous dan mendukung sekresi IgA yg berhubungan dengan GALT dan MALT
  3. Peningkatan permeabilitas ini meningkatkan kekuatan melawan bakteri, resiko terhadap infeksi dan pertahanan lebih baik dari MODS
  4.  Alasan spesifik dari memberikan nutrisi enteral untuk memelihara fungsi gastrointestinal, mengatur stres dan respon imun sistemik
  5. Meta-analisis dari 8 penelitian yang membandingkan pemberian nutrisi enteral dini dan tertunda lebih dari 48 jam memberikan hasil signifikan menurunkan angka kematian
  6. Meta- analisis dari 12 penelitian signifikan menurunkan angka kejadian infeksi dari pemberian nutrisi enteral yang dimulai rata dalam 36 jam perawatan
  7. Meta-analisis dari  6 penelitian  signifikan menurunkan pneumonia, dan kematian tetapi tidak berbeda dalam kejadian gagal multi organ (MOF) dimana nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam perawatan di ICU
  8. Kesimpulan dari 21 RCT dari pemberian dini nutrisi enteral signifikan menurunkan angka kematian dan kejadian infeksi
Penggunaan nutrisi enteral lebih dianjurkan dariapada nutrisi parenteral pada pasien sakit kritis yang membutuhkan terapi dukungan nutrisi.

  • Dalam sebagian besar kasus di ICU nutrisi enteral lebih aman dibandingkan nutrisi parenteral
  • Keuntungan ini dibandingkan antara nutrisi enteral dan parenteral dalam populasi pasien kritis termasuk trauma, luka bakar, cedera kepala, operasi besar dan pankreatitis akut
  • Beberapa studi menunjukan nutrisi enteral menunjukan hasil konsisten dalam angka kematian, menurunkan kejadian infeksi terutama pneumonia dan infeksi vena central
  • Meta-analisis dari 6 penelitian menunjukan hasil signifikan nutrisi enteral menurunkan kejadian komplikasi non infeksi dan menurunkan lama rawat inap
  • Meta-analisis dari 5 penelitian menunjukan tidak ada perbedaan dalam angka kematian
  • Dalam 12 penelitian dengan 618 peserta dari kriteria inklusi, 9 dilaporkan lebih sedikit infeksi dengan nutrisi enteral dibandingkan parenteral, lama perawatan ICU lebih singkat pasien dengan nutrisi enteral dibandingkan parenteral, tetapi tidak ada perbedaan lama perawatan rumah sakit dan angka kematian.
Pada mayoritas populasi pasien ICU medis dan ICU bedah, sementara faktor-faktor kontraktilitas gastrointestinal harus dievaluasi ketika memulai nutrisi enteral, tanda-tanda kontraktilitas yang jelas tidak diperlukan sebelum memulai nutrisi enteral.

  • Literatur mendukung konsep bising usus dan flatus tidak diminta dalam inisiasi nutrisi enteral
  • Bising usus hanya indikasi dari kontraktilitas dan tidak berhubungan dengan fungsi mukosa, fungsi barier dan kapasitas penyerapan
  • Pendapat memulai nutrisi enteral berdasarkan bising usus melaporkan nutrisi enteral aman diberikan saat 36-48jam di ICU
  • Penurunan atau hilangnya bising usus menunjukan keparahan penyakit dan prognosis yang buruk
  • Pasien dengan bising usus normal menunjukan angka kematian lebih rendah dibandingkan dengan pasien bising usus menurun atau hilang
  • Lama rawat inap ICU meningkat pada pasien dengan intoleransi gastrointestinal

Level infus dialihkan lebih rendah di traktus gastroitestinal pada pasien sakit kritis dengan risiko tinggi aspirasi atau yang menunjukkan intoleransti terhadap nutrisi enteral lambung. Pada sebagian besar pasien sakit kritis, disetujui untuk memulai nutrisi enteral pada lambung      

Pada keadaan gangguan atau ketidakstabilan hemodinamik, nutrisi enteral harus ditahan hingga pasien telah sepenuhnya diresusitasi dan/atau stabil. Inisiasi/re-inisiasi nutrisi enteral dapat dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien yang menjalani penghentian dukungan vasopresor.

Kondisi-kondisi apa saja bisa dilakukan Pemberian Nutrisi Enteral

  1. Pasien dengan risiko nutrisi rendah dan status nutrisi basal normal serta derajat keparahan penyakit yang rendah (misalnya NRS-2002 £ 3 atau skor NUTRIC £ 5) yang tidak dapat menjaga asupan mandiri tidak memerlukan terapi nutrisi khusus selama minggu pertama perawatan di ICU.
  2. Baik nutrisi tropic maupun nutrisi penuh dengan nutrisi enteral sesuai untuk pasien dengan sindrom distress pernapasan akut (ARDS)/cedera paru akut (ALI) dan yang diperkirakan akan mendapatkan ventilasi mekanik ≥ 72 jam, karena kedua strategi pemberian nutrisi tersebut memiliki luaran yang sama selama minggu pertama rawat inap di rumah sakit.
  3. Pasien dengan risiko nutrisi tinggi (misalnya NRS-2002 > 5 atau skor NUTRIC ≥ 5, tanpa interleukin-6) atau malnutrisi berat harus sesegara mungkin ditingkatkan menuju target selama 24-48 jam sambil memantau terjadinya sindrom refeeding. Usaha untuk memberikan > 80% dari energi target yang diperkirakan atau dihitung dan protein dalam 48-72 jam harus diberikan untuk mencapai manfaat klinis nutrisi enteral selama minggu pertama rawat inap di rumah sakit.
  4. Protein yang cukup (dosis tinggi) harus diberikan. Kebutuhan protein diperkirakan berkisar 1,2-2,0 gr/kg berat badan aktual per hari, dan kemungkinan besar lebih tinggi pada pasien luka bakar atau multitrauma.

Pemantauan Toleransi dan Kecukupan Nutrisi Enteral

Pasien harus dipantau setiap hari untuk toleransi nutrisi enteral. Penghentian nutrisi enteral harus dihindari. Memberikan instruksi status pemberian nutrisi nil per os (NPO) untuk pasien menjelang uji diagnostik atau prosedur harus diminimalkan untuk membatasi terjadinya ileus dan untuk membatasi pemberian nutrisi yang tidak adekuat.
  1. GRV tidak dapat diberikan seabagai bagian perawatan rutin untuk memantau pasien ICU dengan nurisi enteral. Pasien ICU di mana masih digunakan GRV, harus dihindari menahan pemberian nutrisi enteral untuk GRV < 500 ml pada keadaan di mana tidak ada tanda-tanda intoleransi.
  2. Protokol pemberian nutrisi enteral didesain dan diimplementasikan untuk meningkatkan persentase keseluruhan dari kalori target yang diberikan.
  3. Dipertimbangkan penggunaan protokol pemberian nutrisi berbasis volume atau protokol multi strategi.
  4. Pasien dengan nutrisi enteral harus dinilai untuk risiko aspirasi dan langkah-langkah untuk mengurangi risiko aspirasi dan pneumonia aspirasi harus dilakukan secara proaktif.
    • Mengalihkan level pemberian makanan dengan pemasangan akses enteral post-pilorus pada pasien yang dianggap berisiko tinggi aspirasi.
    • Untuk pasien risiko tinggi atau yang tampaknya intoleransi terhadap nutrisi enteral bolus gaster, pemberian nutrisi enteral harus diganti ke infus kontinyu.
    • Pada pasien dengan risiko tinggi aspirasi, obat-obat yang memicu motilitas, seperti obat-obat prokinetik (metoklopramid atau eritromisin), dimulai apabila memungkinkan secara klinis.
    • Harus dilakukan pengarahan perawat untuk mengurangi risiko aspirasi dan VAP. Pada semua pasien ICU terintubasi yang mendapatkan nutrisi enteral, kepala harus pada posisi elevasi 30°-45° dan harus dipertimbangkan penggunaan pencuci mulut klorheksidin dua kali sehari.
  5. Baik makanan berwarna biru maupun obat-obat lain yang berwarna digunakan sebagai penanda aspirasi nutrisi enteral. Strip glukosa oksidase sebaiknya tidak digunakan sebagai pengganti penanda aspirasi pada keadaaan perawatan kritis.
  6. Nutrisi enteral jangan dihentikan secara otomatis pada keadaan diare tetapi pemberian makanan harus tetap dilanjutkan sambil mengevaluasi etiologic diare pada pasien ICU untuk menentukan terapi yang sesuai.

Pemilihan Formula yang Tepat untuk Nutrisi Enteral

Menggunakan formula polimer standard ketika memulai nutrisi enteral di ICU. Hindari penggunaan rutin semua formula spesialis pada pasien sakit kritis di ICU medis dan formulas penyakit spesifik di ICU bedah.

 Formulasi enteral yang memodulasi imun (arginin dengan obat-obat lain, termasuk asam eikosapentanoat [EPA], asam dokosaheksanoat [DHA], glutamin, dan asam nukleat) sebaiknya tidak digunakan secara rutin di ICU medis. Pertimbangan penggunaan formulasi tersebut pada pasien dengan TBI dan pasien perioperative di ICU bedah.

Belum dapat direkomendasikan mengenai penggunaan rutin formulasi enteral yang ditandai dengan profil lipid antiinflamasi (misalnya omega-3 FOs, borage oil) dan antioksidan, pada pasien dengan ARDS dan ALI berat, mengingat data-data yang bertentangan.

Formula serat campuran komersial tidak seharusnya digunakan secara rutin pada pasien sakit kritis dewasa sebagai profilaksis untuk mendorong regularitas usus atau mencegah diare.

Mempertimbangkan penggunaan formulasi yang mengandung serat campuran komersial jika terdapat bukti diare persisten. Hindari serat yang larut maupun tidak larut pada pasien dengan risiko iskemia usus atau dismotilitas berat. Pertimbangkan penggunaan formulasi peptide kecil pada pasien dengan diare persisten dengan suspek malabsorpsi, iskemia, atau yang kurang berespon terhadap serat.

 Berdasarkan hasil konsensus ahli, pada pasien kritis disarankan pemberian nutrisi enteral pada pencernaan. Inisiasi pemberian terapi nutrisi enteral di pencernaan secara teknis lebih mudah dan dapat mempercepat waktu inisiasi. Pilihan cairan yang digunakan (apakah ujung tube di saluran pencernaan, pada segmen yang berbeda di duodenum [D1,D2, D3 atau D4] atau di jejunum) dalam saluran gastrointestinal dapat ditentukan oleh dokter ICU sesuai kondisi pasien menurut protokol.

Pada RCT yang lebih besar nutrisi enteral melalui lambung dibandingkan dengan melalui usus kecil pada pasien kritis, Davies et al tidak menemukan perbedaan pada output klinis kedua kelompok tersebut, baik dari LOS, angka kematian, penghantaran nutrisi, dan insidensi pneumonia.

Kumpulan data RCT yang kemudian menjadi kriteria inklusi, 6 percobaan melaporkan adanya peningkatan penghantaran nutrisi melalui usus kecil, dan 12 percobaan melaporkan menurunnya resiko pneumonia jika dibandingkan dengan nutrisi enteral melalui lambung. Meskipun nutrisi enteral melalui usus kecil lebih kecil kejadiannya untuk resiko pneumonia, tetapi tidak ada perbedaan pada angka kematian dan LOS pada kedua grup. Jika pemberian nutrisi enteral melalui akses usus kecil tidak berhasil, maka pemberian nutrisi enteral segera melalui lambung akan lebih baik daripada menunda pemberian nutrisi inisial dan menunggu akses usus kecil.

Pemberian nutrisi enteral pada pasien kritis dewasa dengan hemodinamik yang tidak stabil 

Berdasarkan konsensus, pemberian nutrisi enteral pada pasien kritis dengan hemodinamik sebaiknya ditunda sampai pasien stabil dan telah teresusitasi. Inisiasi / inisiasi ulang nutrisi enteral dapat dipertimbangkan pada pasien yang telah lepas dari bantuan vasopressor.

Pada keadaan kritis, pemberian EN dilakukan pada pasien yang cenderung terjadi dismotilitas usus, sepsis, dan hipotensi, yang kondisi tersebut meningkatkan resiko iskemia subklinik/ cedera reperfusi termasuk mikrosirkulasi pada intestinal.  Terjadinya iskemia usus sangat jarang terjadi sebagai komplikasi terkait pemberian EN. Pada review retrospektif, kelompok pasien yang membutuhkan vasopresor dosis rendah, dan sejak awal mendapat nutrisi enteral,  angka kematian di ICU dan angka kematian di RS lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tertunda diberikan EN.

Ketika EN diberikan pada pasien kronik menggunakan yang menggunakan dosis rendah vasopressor, EN sebaiknya ditunda pada pasien hipotensi (mean arterial blood pressure <50 mmHg), pasien yang mendapat pengobatan katekolamin ( norepinefrin, phenilefrin, epinefrin, dopamin),  atau pasien yang dinaikkan dosisnya untuk menjaga stabilitas hemodinamiknya.

Pemberian EN pada pasien yang menggunakan terapi vasopresor harus dipantau jika ada tanda-tanda awal iskemia usus, dan pemberian ditunda hingga kondisi stabil. Tanda-tanda intoleransi (abdominal distention, produk NGT meningkat, bising usus menurun, asidosis metabolik meningkat).

Dosis Pemberian Enteral Nutrisi 

Pasien yang beresiko rendah 

Pada pasien yang beresiko rendah akan terjadi kekurangan nutrisi dengan status nutrisi awal yang normal dan severitas penyakit yang rendah (contoh NRS -2000 ≤ 3 atau skor NUTRIC  ≤ 5), yang tidak dapat mempertahankan intake TIDAK  dianjurkan untuk mendapat terapi nutrisi pendukung sampai lebih dari 1 minggu di ICU.

Pasien perawatan ICU sangat heterogen, termasuk tingkat nutrisi dan severitas penyakitnya. Pasien dengan resiko rendah, status awal nutrisi normal, dan severitas penyakitnya rendah akan dirawat di ICU selama beberapa hari.  Jika memungkinkan, pasien tersebut diberikan asupan oral untuk menjaga status nutrisi, memperbaiki respon imun, dan optimalisasi fungsi organ. Pemberian secara enteral pada pasien yang tidak dapat memenuhi intake yang seharusnya berpotensi menjadi komplikasi. Pemberian EN secara agresif pada pasien ICU resiko rendah mungkin dapat memberikan sedikit manfaat di minggu awal perawatan di ICU atau pasien dapat saja memburuk keadaannya, sampai pada perburukan status nutrisi dan derajat keparahan penyakitnya. Pasien resiko rendah sebaiknya dilakukan asesmen setiap hari dan jika statusnya memburuk, maka dapat diinisiasi terapi EN.

Trophic atau nutrisi penuh menggunakan EN sesuai untuk diberikan pada pasien-pasien sindrom distres respiratorik akut (ARDS)/ infeksi paru-paru akut (ALI), dan penggunaan ventilator mekanik dengan durasi ≥ 72 jam, dari 2 strategi pemberian nutrisi tersebut memiliki output yang sama setelah 1 minggu perawatan di RS.

Salah satu studi (randomized-single study) pada pasien-pasien gagal nafas akut dan studi lain (larger randomized multicenter trial) pada pasien ARDS/ALI, yang keduanya menggunakan ventilator mekanik dengan durasi lebih dari 72 jam, pemberian terapi inisial EN trophic (10-20 kcal/jam atau hingga 500 kcal/hari)  selama 6 hari dilaporkan bahwa insidensi terjadinya intoleransi pencernaan lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan nutrisi penuh EN  pada minggu pertama perawatan di ICU. Penilaian akhir penggunaan inisial trophic dibandingkan dengan penggunaan awal full EN (target kebutuhan energi) meliputi bebas ventilator, bebas ICU, angka kematian pada hari ke 60, kejadian infeksi nosokomial.

Studi lain dikritik karena penggunaan protein dibawah ketentuan (0,6-0,8 g/kg/hari), dan hasilnya adalah pasien-pasien kondisi kritis sedang tersebut memiliki LOS yang lebih pendek di ICU, dan mengindikasikan resiko kekurangan nutrisi yang rendah. Karena hanya sedikit data, maka studi ini tidak dimasukkan dalam protokol.

Berdasarkan konsensus, pasien yang beresiko tinggi kekurangan nutrisi (NRS-2002 > 5 atau skor NUTRIC ≥ 5, tanpa interleukin-6) atau tergolong gizi buruk yang parah harus mencapai target secepat mungkin dalam waktu 24-48 jam dengan tetap monitor terjadinya sindrom  refeeding. Upaya pencapaian > 80% target energi dan protein dalam 48-72 jam harus tercapai untuk mendapatkan manfaat klinis EN selama minggu pertama dirawat di RS.

Nutrisi trophic (10-20 mL/jam atau 10-20 kcal/jam) akan cukup untuk mencegah atropi mukosa dan menjaga integritas usus pada pasien resiko rendah hingga sedang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi target yang diharapkan pada pasien pengguna EN yang beresiko tinggi.  Studi menganjurkan > 50-60% dari target energi dibutuhkan untuk mencegah permeabilitas usus dan infeksi sistemik pada pasien transplantasi sumsum tulang, untuk mempercepat kembalinya fungsi kognitif pada pasien trauma kepala, dan menurunkan angka mortalitas pada pasien resiko tinggi.

Pada studi lain menyebutkan pasien operasi dengan resiko tinggi (NRS-2002 ≥ 5) yang mendapat terapi nutrisi yang cukup (> 10kcal/kg/hari selama 7 hari) menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial dan komplikasi jika dibandingkan dengan pasien yang belum mendapat nutrisi yang cukup. Didapatkan angka mortalitas yang paling rendah pada pasien EN yang mencapai target energi > 80%.

Dosis protein yang masuk harus mencukupi (dosis tinggi). Kebutuhan protein yang dibutuhkan sekitar 1,2-2,0 g/kgBB/hari dan dapat dinaikkan dosisnya pada pasien luka bakar dan trauma.

Studi terbaru melaporkan bahwa pada pasien kritis, kecukupan protein erat kaitannya dengan output yang positif jika dibandingkan dengan kecukupan energi total (terutama  nutrisi makronutrien lemak dan karbohidrat).  Dosis pemberian protein yang dibutuhkan pada pasien kritis ternyata harus lebih tinggi.

Studi prospektif observasional pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik membuktikan bahwa tercapainya target protein (1,3 g/kg protein provided) dan target energi terkait dengan angka penurunan mortalitas sebanyak 50% dalam 28 hari, yang tidak menurunkan mortalitas jika hanya tercapai target energi saja (0,8 g/kg protein provided). Akan tetapi, perhitungan yang tepat untuk kebutuhan protein pada pasien kritis selama ini menjadi sulit, karena kebanyakan klinisi menggunakan cara sederhana berbasis berat badan (1,2-2,0 g/kg/hari). Penggunaan balans nitrogen atau NPC (70:1 hingga 100:1) sulit dilakukan di ICU.

Pemantauan dan kecukupan Nutrisi Enteral (EN)

Pasien harus dimonitor setiap hari untuk memantau toleransi penggunaan EN karena sebaiknya dihindari proses penghentian EN yang tidak tepat. Melakukan NPO pada pasien yang sedang dilakukan tes diagnostik sebaiknya  diminimalkan untuk membatasi terjadinya propagasi ileus dan menghindari penghantaran nutrisi yang tidak mencukupi.

Toleransi dapat dilihat dari pemeriksaan fisik, pasien dapat flatus dan defekasi, evaluasi radiologis, dan tidak ada komplain nyeri atau distensi abdomen dari pasien.  Intoleransi gastrointestinal dapat berupa muntah, distensi abdomen, rasa tidak nyaman, produk NG berlebih, GRV meningkat, diare, kesulitan flatus dan defekasi, atau tampak abnormal pada foto abdomen.

  • Mengganti EN dari perut ke usus kecil terbukti mengurangi insidensi terjadinya regurgitasi, aspirasi, dan pneumonia. Dalam 13 studi RCT kejadian pneumonia lebih rendah pada pasien dengan EN di usus kecil dibandingkan pada pasien dengan EN di gaster. Tidak ada perbedaan pada angka kematian, LOS di ICU, LOS di rumah sakit, durasi penggunaan ventilator mekanik ataupun waktu untuk mencapai target EN.  
  • Pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang intoleransi terhadap EN bolus gaster maka perlu diganti  continuous infus.
Salah satu studi RCT membuktikan bahwa dengan continuous EN menurunkan angka mortalitas (13,9% intermiten; 7,4% continuous). RCT lainnya menyatakan bahwa makin sedikit interupsi saat pemberian EN (continuous EN) volume yang masuk lebih besar dibandingkan dengan bolus (intermiten EN).

Pemilihan  formula Enteral yang tepat

Kurang dari setengah pasien ICU yang mencapai target asupan energi. Tenaga kesehatan selama ini cenderung menghitung target hanya 60-80% dari total energi yang diperlukan, selanjutnya pasien hanya menerima 80% dari target yang dihitung. Total energi yang didapatkan pasien hanya sekitar 50% setiap hari dari target energi yang seharusnya.

GRV tidak disarankan untuk digunakan dalam monitoring pasien pengguna EN di ICU.

Penggunaan GRV tidak ada hubungannya dengan insidensi pneumonia, regurgitasi, ataupun aspirasi. Pada sebuah studi menyatakan bahwa percobaan menggunakan GRV (150-400 mL) yang sangat sensitif dan merupakan marker aspirasi yang spesifik ternyata menunjukkan monitoring aspirasi yang sangat buruk dengan sensitivitas yang sangat rendah (1,5-4,1%). Penggunaan GRV malah meningkatakan resiko penyumbatan akses enteral, menyebabkan penghentian EN secara tidak tepat, membutuhkan waktu lebih untuk tenaga medis, dan dapat menyebabkan efek berkurangnya volume nutrisi yang masuk.

Protokol pemberian nutrisi harus dibuat dan diimplementasikan untuk meningkatkan persentase pencapaian target yang dibutuhkan pasien.

Protokol pemberian nutrisi berdasarkan volum atau top-down multi-strategy dapat dipertimbangkan.

Protokol target EN infusion rate, kecepatan aliran, dan kondisi atau masalah yang membuat EN dapat dilanjutkan atau dihentikan, telah menunjukkan kesuksesan dalam meningkatkan persentase keberhasilan pemberian target nutrisi.  Penggunaan protokol pemberian nutrisi secara volume-based dalam 24 jam atau target volume per hari menunjukkan peningkatan volume nutrisi yang masuk.

Protokol top-down multi-strategy biasanya digunakan untuk pemberian secara volume-based yang menggunakan agen prokinetik dan penggunaan tube post-pyloric.

Berdasarkan konsensus, disarankan pada pasien yang menggunakan EN harus dinilai resiko aspirasinya, sehingga dapat menurunkan resiko terjadi aspirasi dan aspirasi pneumonia.

Karena aspirasi merupakan resiko komplikasi yang paling ditakuti pada penggunaan EN. Resiko aspirasi meningkat pada pasien yang tidak stabil airway, terpasang akses nasoenteric, terpasang ventilator mekanik, usia lebih dari 70 tahun, kesadaran menurun, oral higien yang buruk, rasio nurse/patient yang buruk, posisi supine, adanya defisit neurologis, refluks gastroesofageal, transfer pindah ruangan keluar ICU, dan penggunaan bolus EN secara intermiten.

Pasien dengan resiko tinggi terjadi aspirasi, dapat diinisiasi pemberian agen untuk motilitas usus seperti obat prokinetik (metoclopramid, eritromisin). Penambahan agen prokinetik terbukti mempercepat pengosongan lambung dan meningkatkan toleransi terhadap pemberian EN. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pada angka kematian ataupun kejadian infeksi.

Elevasi kepala 30-45ᵒ terbukti menurunkan insidensi pneumonia dari 23% menjadi 5%, bila dibandingkan dengan posisi supine atau setengah terlentang. Optimalisasi higienitas oral menggunakan obat kumur chlorhexidine dua kali/hari juga terbukti pada 2 studi dapat menurunkan kejadian infeksi respiratorik dan pneumonia nosokomial pada pasien bedah jantung.

Langkah lainnya untuk menurunkan resiko aspirasi adalah menurunkan level sedasi/analgetik bila memungkinkan dan meminimalkan transfer pasien keluar ICU untuk prosedur tes diagnostik.

Pemberian warna biru pada makanan untuk menjadi marker terjadinya aspirasi EN.  Penggunaan strip glucose oxidase tidak dianjurkan sebagai pengganti marker terjadinya aspirasi pada kondisi kritis karena tidak sensitif dan spesifik.

EN tidak boleh langsung dihentikan pada kondisi diare, melainkan tetap dilanjutkan sambil dievaluasi etiologi penyebab diare pada pasien ICU tersebut untuk mendapatkan terapi yang tepat.

Penggunaan standar formula polimerik saat inisiasi EN di ICU. Hindari penggunaan formula yang rutin digunakan pada pasien kritis di MICU dan SICU (disease-spesific formula). Standar formula polimerik isotonik atau near isotonik yang dapat ditoleransi adalah 1 kcal – 1,5 kcal/mL

Posting Komentar untuk "Pemilihan Formula Nutrisi Enteral Pada Pasien Sakit Kritis"